Apa yang
menjadi impian terbesarmu? Kehidupan seperti apa yang kamu idam-idamkan untuk
terjadi?
Sebagai
seorang yang kerap diberi label “terlalu idealis” oleh sebagian rekan-rekanku, aku
memiliki dunia impianku sendiri. Dibesarkan dalam keluarga Tionghoa yang masih
memegang tradisi cukup kuat, membuatku berpikir bahwa kesuksesan dapat diukur
dari seberapa banyak uang yang telah kuhasilkan, pendidikan dan karir yang
baik, keluarga yang harmonis, dan hal-hal Indah lainnya. Itulah menurutku
kehidupan yang ideal bagiku. Bahkan terkadang idealismeku sendiri yang
membuatku justru menjalani hidup lebih berat dari yang seharusnya.
Berbicara
tentang idealisme membuatku teringat sebagian lirik dari lagu “Imagine” dari
John Lennon:
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace... You...
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace... You...
Rasanya
memang lebih mudah mengimajinasikannya dibanding menghidupi pandangan idealis
tersebut. Mungkin bagi seorang John Lennon, itulah dunia yang diimpikannya, idealisme
yang diusungnya.
Jika
idealisme hanya memberatkan hidup, apakah sebenarnya kita perlu menjadi orang
yang idealis? Bagaimana pandangan kekristenan terhadap hal tersebut?
Dalam
perenunganku akan hal ini, aku menemukan beberapa hal yang membantuku melihat idealisme
dari sudut pandang yang berbeda, bukan sekedar hal yang memberatkan namun
penting tapi lebih dari itu.
Dalam
‘idealisme’ terkandung kata ‘idea’, pada dasarnya idealisme itu sendiri adalah
sebuah ide. Ide mengenai sebuah perubahan, terlepas dari baik buruknya
perubahan tersebut. Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena ketidakpuasan
terhadap situasi kondisi yang sedang berlangsung, ada ‘kesalahan’ di dalamnya
yang perlu diperbaiki. Namun perlu diingat bahwa idealisme juga membutuhkan
realisme sebagai tim kerja. Kesalahan umum yang sering dilakukan –khususnya
olehku- adalah kita hanya mengembangkan sikap idealis yang mengakibatkan angan-angan
kita melambung terlalu tinggi, melupakan bahwa angan kita pun membutuhkan
tempat berpijak untuk dapat direalisasikan.
Itulah
mengapa diperlukan sikap realistik, untuk menolong kita memahami kondisi riil
di lapangan. Sementara sikap idealis diperlukan untuk mengidentifikasi masalah
atau kekurangan yang ada serta untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Jadi
pada prakteknya, sikap idealis dan realistis tidak saling berkontradiktif
tetapi keduanya harus berjalan selaras agar hasilnya nanti tidak berat sebelah
dan tepat sasaran. Idealisme memerlukan keberanian untuk dapat diwujudnyatakan.
Tetapi terkadang kita sulit membedakan mana yang memang keberanian dan mana
yang hanya kesombongan belaka untuk mempertahankan gengsi.
Lantas
keberanian apa saja yang diperlukan untuk mempraktekan idealisme dengan benar?
1.
Berani berserah
Bagi
aku sendiri, berani yang dimaksud disini salah satunya adalah berani berserah
sepenuhnya kepada Tuhan. Kita berani melakukan perubahan karena kita tahu bahwa
apa yang kita lakukan adalah benar dan berkenan kepada Tuhan. Bahwa Tuhan
sendirilah yang akan menjadi hakim dan pembela bagi kita nantinya. Oleh karena itu,
kita pun perlu mengecek apakah pandangan idealisme kita sudah selaras dan
sejalan dengan Firman Tuhan. Berdoa meminta hikmat pada Tuhan agar kita dapat
peka mengidentifikasi hal tersebut adalah suatu hal yang mutlak untuk
dilakukan. Sebab sia-sialah apa yang kita pertahankan untuk dilakukan jika hal
tersebut menentang kehendak Tuhan. Percuma kita memaksa berjalan jika ujungnya
hanya salah arah. Seperti yang tertuang dalam Amsal 16:9, Hati manusia
memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.
2.
Berani bertanya
“Don’t
assume, just ask.”
Baru-baru
ini aku mendapatkan slogan tersebut saat mengikuti pelatihan soft-skill dari
kantorku. Sebelumnya, para peserta diminta untuk mengikuti tes sederhana untuk
menilai apakah kita lebih sering menyimpulkan dengan berasumsi ketimbang
mencerna informasi yang diterima sebelum menarik kesimpulan tentang suatu hal. Dan
alangkah terkejutnya aku mendapati bahwa ternyata aku adalah orang yang
asumtif. Kejadian ini mengingatkan aku untuk lebih belajar menggali informasi
lebih dalam, bertanya sebelum menyimpulkan sesuatu. Benteng idealismeku kerap
kali membuat aku berasumsi terhadap orang lain, bahwa pemikiran mereka tidak
se-ideal milikku. Aku lupa menempatkan posisi di posisi mereka, melihat dari
sudut pandang mereka. Idealisme seharusnya dapat bersifat dinamis dan global agar
perubahan yang akan dilakukan bersifat menyeluruh dan membangun seluruh aspek
yang dibutuhkan bukan hanya terfokus dengan diri sendiri.
3. Berani Menerima untuk merelakan
Sebelum
kita dapat melemparkan bola basket ke ring, kita harus terlebih dulu menerima
operannya, menangkap bola tersebut. Demikian juga saat idealisme kita harus
runtuh atau orang lain tidak bisa mengikuti idealism kita. Saat idealisme kita tidak
dapat kita pertahankan, ingat kembali poin pertama tadi, berani berserah. Berserah
berarti kita mempercayai Allah sepenuhnya, kita benar-benar meyakini bahwa rancangan
Allah melebihi rancangan kita, seperti tertulis dalam Yesaya 55:8-9, Sebab
rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu
bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya
langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan
rancangan-Ku dari rancanganmu. Kita perlu berani menerima kenyataan
bahwa idealisme kita terkadang mungkin tidak sesuai dengan rencana Tuhan atas
kita dan merelakan idealisme Tuhan yang menggantikan idealisme kita. Dengan jalan
ini kita tidak akan menyiksa diri untuk terus bertahan menjalankan pandangan idealisme
kita yang salah di mata Tuhan.
Pada
akhirnya, mari kita para generasi muda berani untuk bersikap idealis namun
tetap berpadanan dengan Firman Tuhan dan berani untuk mengimplementasikannya
dalam realita kehidupan kita sehari-hari. Agar idealisme kerajaan Allah pun
dapat kita beritakan di tengah-tengah dunia yang skeptis ini. Dan tetap ingat
bahwa yang dapat kita lakukan adalah menginspirasi dan mempengaruhi orang lain
untuk setuju dengan pandangan idealisme kita, bukan memaksa mereka untuk
mengikutinya. Perubahan dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Jika kita
sudah melakukan yang terbaik namun mereka tetap menolak kita, jangan jadikan
hal tersebut hambatan bagi kita untuk tetap mengembangkan diri, kita hanya bisa
mengontrol diri kita sendiri dan orang lain pun memiliki kehendak bebasnya
masing-masing untuk memilih pilihan mereka.
No comments:
Post a Comment